Komisi VII Desak PLN Upayakan Payung Hukum Kelistrikan Swasta
Komisi VII mendesak PT. PLN segera mengupayakan payung hukum untuk sektor kelistrikan swasta. Desakan ini disampaikan saat Komisi VII dipimpin Wakil Ketua Effendi Simbolon (Fraksi PDI Perjuangan) RDP dengan Direktur Manajemen Bisnis dan Risiko PLN Murtaqi Syamsuddin, Masyarakat Kelistrikan Indonesia (MKI) Asosiasi Produsen Listrik Swasta, serta beberapa perusahaan yang bergerak dibidang energi di Gedung Nusantara DPR, Senin (25/01)
Anggota Komisi VII Sutan Bhatoegana (Fraksi PD) payung hukum yang diharapkan untuk menjamin kelistrikan swasta tersebut dapat diusulkan PLN melalui Pemerintah untuk dibahas bersama DPR.
Sutan menyadari tanpa adanya regulator, sektor swasta tidak akan tertarik untuk menanamkan modalnya. Padahal PLN telah mengakui peranan kontraktor listrik swasta memang sangat dibutuhkan mengingat dari kapasitas pembangkit yang akan dibangun hingga 2015 sebesar 30.000 Megawatt (MW), PLN hanya mampu membangun 15.000 MW dan sisanya diharapkan dibangun oleh IPP (Listrik Swasta)
“Kalau masing-masing pihak sudah menyadari kekurangan, permasalahannya serta solusi yang diharapkan, tapi payung hukumnya tidak ada. Harusnya PLN mengajukan melalui Pemerintah,” terang Sutan
Disisi lain Sutan juga mengusulkan PLN menerapkan metode baru dalam hal kerjasama pembangunan pembangkit listrik dengan sektor swasta. Ia menyarankan agar PLN menyerahkan spenuhnya kepada pihak swasta, tanpa campur tangan apapun, baru setelah 30tahun kemudian menjadi milik PLN
Sutan berpendapat, kebutuhan listrik semakin meningkat, karenanya PLN harus melakukan terobosan agar mampu memenuhi kebutuhan listrik. Ia menambahkan, saat ini Rakyat Indonesia tidak peduli siapapun yang akan menjadi investor untuk listrik swasta, yang penting bagi mereka listrik menyala.
Sutan juga menyayangkan proses birokrasi ditubuh PLN yang terkesan lama. Seharusnya dapat diselesaikan segera. “Kenapa proses izin IPP harus 1 sampai 3 tahun. Birokrasinya terlalu lama, apakah tidak bisa lebih cepat. Oknum PLN yang menikmati, padahal masyarakat menunggu supaya listrik mereka nyala,” tukasnya
Sementara itu, Milton Pakpahan (Fraksi PD) meminta PLN lebih bijak dalam bersikap. Dirinya berharap PLN memberikan kesempatan yang luas bagi sektor swasta, terlebih saat ini swasta tidak diberikan jaminan karena belum adanya payung hukum seperti yang diharapkan
Pada kesempatan yang sama, Anggota Komisi VII Achmad Rilyadi (Fraksi PKS) mengungkapkan temuannya saat dirinya melakukan kunjungan ke daerah pemilihan. Masyarakat mepertanyakan keberadaan maupun peruntukan uang administrasi sebesar Rp.2.500 per bulan.
Dirinya berpendapat, seharusnya uang administrasi tidak dibebankan pada Konsumen. Karenanya ia mempertanyakan dasar hukum serta pertanggungjawabannya.
Menanggapi pernyataan tersebut, Direktur Bisnis dan Manajemen Risiko PLN, Murtaqi Syamsuddin untuk menjamin pengembangan listrik swasta ke depan, PLN akan menyusun model bisnis. Menurut dia, model bisnis dalam pengembangan listrik swasta harus bankable, acceptable, dan sustainable bagi pengembang.
"Pasalnya dalam pembangunan pembangkit ini sangat capital insentive karena sebagian besar proyek didanai dengan pinjaman sebesar 70 persen dan 30 persennya equity ," kata dia.
Murtaqi mengakui, ke depan peranan kontraktor listrik swasta sangat dibutuhkan, mengingat dari kapasitas pembangkit yang akan dibangun hingga 2015 sebesar 30.000 Megawatt (MW) sebagiannya akan dibangun oleh swasta. “PLN hanya mampu membangun 15.000 MW dan sisanya diharapkan dibangun oleh IPP,” terangnya.
Selain itu, PLN akan mengkaji ulang kontrak-kontrak dengan pengembang listrik swasta. Hal ini dilakukan lantaran PLN menyadari dengan fluktuasi harga bahan bakar pembangkit dan kondisi perekonomian global, otomatis semua harga-harga akan terkerek naik.
Di tempat yang sama, Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) A Santosa menuturkan, PLN dengan kondisi perekonomian saat ini harus lebih realistis. “PLN juga harus bisa melihat perkembangan,” ujarnya.
Ia menjelaskan, pihaknya menginginkan PLN merenegosiasi kontrak hingga mencapai keekonomian. Pasalnya, harga jual yang dulu sudah tidak relevan lagi. “Banyak proyek IPP terhenti karena biaya operasi tinggi, tapi kontraknya rendah,” katanya. (sw)